Oleh: Faisal Rahmat*)
RADARDEPOK.COM – Populasi dunia terus meningkat, bersamaan dengan kebutuhannya akan makanan. Memberi makan populasi dunia yang terus bertambah tentu membutuhkan peningkatan produksi pangan, untuk memenuhi permintaan ini akan memerlukan solusi inovatif. Untuk alasan ini, memberi makan populasi masa depan harus melibatkan penggunaan sumber protein alternatif, seperti daging budidaya, rumput laut, jamur, dan serangga.
Dari jumlah spesies serangga yang dapat dimakan yang tercatat dikonsumsi di seluruh dunia, dan berdasarkan perkiraan regional dan nasional, 250 spesies diidentifikasi untuk digunakan sebagai makanan di Afrika, lebih dari 200 spesies di Cina dan Asia Tenggara. Menurut van der Spiegel et al. (2013), terutama ada dua sumber keberadaan zat berbahaya pada serangga, seperti produksi racun alami oleh serangga itu sendiri (pada tahap perkembangan tertentu) dan asupan kontaminan melalui substrat dan tanah. Serangga dapat mengakumulasi bahan kimia berbahaya, termasuk logam berat, dioksin, dan fire retardant atau zat penghambat api. Pemilihan substrat (sumber nutrisi) dapat berdampak pada terjadinya dan akumulasi kontaminan dalam makanan berbahan dasar serangga.
Logam berat bersifat karsinogenik dan berdampak buruk pada DNA, protein, dan lemak dengan menghasilkan radikal bebas yang menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan yang parah. Sebagian besar organoklorin seperti dioksin dan furan menimbulkan efek racun. Bahaya dioksin sering disejajarkan dengan DDT, yang sekarang telah dilarang di seluruh dunia. Polibrominasi difenil eter (PBDEs)—penghambat api (fire retardant) yang digunakan sebagai aditif dalam polime. PBDE adalah bahan kimia yang beracun, persisten, bioakumulatif, dan ada di mana-mana yang telah ditemukan pada tingkat yang meningkat pesat pada manusia selama beberapa dekade terakhir.
Baca Juga: Penerapan Konsep Mekanika Kuantum dalam Jam
Secara khusus, peluang serangga untuk mengimbangi meningkatnya permintaan daging atau produk ikan sangat besar, terutama mengingat ratusan spesies serangga di seluruh dunia telah dikonsumsi oleh manusia sebagai makanan walaupun beberapa species serangga mengandung senyawa berbahaya untuk kesehatan jika dikonsumsu oleh manusia. Serangga memiliki nilai nutrisi yang tinggi (yaitu mengandung kalori dan asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, asam lemak tak jenuh tunggal dan/atau tak jenuh ganda, dan mikronutrien.
Tabel 1. Perbandingan zat gizi serangga (Payne, 2016)

Sebuah penelitian dengan membandingkan zat gizi yang terdapat pada 9 jenis serangga yang biasa. Spesies yang dikonsumsi dalam bentuk larva cenderung memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi. Sementara nilai kandungan lemak jenuh cukup rendah pada beberapa spesies serangga seperti jangkrik (2280 mg) dan ulat sutera (2300 mg), hal ini tidak selalu terjadi: larva kumbang sawit dan rayap masing-masing mengandung 17.500 mg dan 13900 mg lemak jenuh.
Baca Juga: Pancasila, Adanya Seperti Tidak Adanya (Wujuduhu Ka’adamihi)
Nilai yang dilaporkan untuk vitamin dan mineral yang telah disorot sebagai gizi penting dalam, karena ini adalah salah satu argumen kunci untuk mempromosikan serangga sebagai makanan manusia. Tingkat gizi ini sangat bervariasi antar spesies. Hal ini mungkin disebabkan oleh kontaminasi tanah pada sampel dalam beberapa kasus, tetapi faktor lain, seperti variasi makanan serangga, juga mungkin berperan. Oleh karena itu, variasi ini menyoroti sejauh mana faktor eksternal dapat memengaruhi kandungan gizi makanan tertentu
Tingginya variasi dalam spesies untuk nilai nutrisi yang dilaporkan di sini membutuhkan investigasi dan validasi lebih lanjut.. Sehubungan dengan manfaat kesehatan yang diklaim terkait dengan serangga yang dapat dimakan, tidak ada kesimpulan tegas yang dapat ditarik karena alasan yang diuraikan di atas. Namun, unsur mineral dalam jumlah tinggi seperti besi dan seng pada spesies tertentu memang mendukung klaim bahwa serangga yang dapat dimakan dapat membantu memerangi kelangkaan pangan di negara-negara di mana defisiensi mikronutrien terjadi. Namun, dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait risiko dan bahaya keamanan pangan untuk serangga tersebut.
*)Faisal Rahmat adalah Mahasiswa Magister Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Tahun 2023