RADARDEPOK.COM - Pro dan kontra terhadap keberadaan sekelompok orang yang disebut sebagai LGBTQ+ terjadi hampir di seluruh bagian bumi. Lesbian, gay, biseksual, transgender, query (or questioning). Tanda (+) di bagian akhir mewakili jenis lain yang tidak termasuk dalam kelompok lima huruf pertama, seperti aseksual, panseksual, interseksual dan lain sebagainya. Beberapa ahli menganggap LGBTQ+ sebagai penyakit/gangguan kesehatan jiwa. Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa kondisi tersebut bukan gangguan jiwa, hanya karakter seseorang yang terpengaruh oleh lingkungan.
Fenomena LGBTQ+ dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: sejarah, budaya, agama, politik, hukum, media, dan lain-lain, yang dapat bersifat mendukung atau menentang keberadaan kelompok ini di Indonesia.
Baca Juga: Pelayanan UPTD Puskesmas di Bojongsari Jelang Tahun Baru: Buka 24 Jam, Pelayanan Tetap Prima
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Azab adalah siksa Tuhan yang diganjarkan kepada manusia yang melanggar larangan agama. Malapetaka adalah kecelakaan, kesengsaraan atau musibah. Sementara, bencana adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya. Bagaimana kita akan menganggap fenomena LGBTQ+ ini, dikembalikan pada pemahaman masing-masing. Dari ketiga definisi di atas, pembaca mungkin dapat menyimpulkan bagaimana keberadaan kelompok ini.
Penulis mencoba mengajak pembaca untuk menyikapi keberadaan kelompok LGBTQ+ dengan pendekatan siklus manajemen bencana. Dalam hal ini, perlu digarisbawahi, penulis tidak menyatakan keberadaan kelompok LGBTQ+ sebagai suatu bencana. Tetapi melalui artikel ini, penulis ingin mengajak para pembaca untuk memahami bagaimana bidang psikologi klinis berperan dalam penanggulangan atau penanganan kondisi kelompok LGBTQ+, berdasarkan tahapan yang disesuaikan dengan siklus manajemen bencana.
Di Indonesia, keberadaan kelompok LGBTQ+ ini menjadi hal yang penuh kontroversi dan sensitif, berkaitan dengan agama, norma sosial dan budaya yang ada. Dari aspek agama, sebagaimana kita ketahui, tidak ada agama yang mendukung keberadaan LGBTQ+. Sementara ada daerah di Indonesia yang memiliki tradisi yang mengarah ke fenomena LGBTQ+ ini. Sebagai contoh hubungan antara Warok dan Gemblak di kesenian Reog Ponorogo. Beberapa kalangan menganggap tradisi ini sebagai praktek homoseksualitas terselubung. Kisah ini pernah diangkat ke layar perak oleh sutradara Garin Nugroho dengan judul “Kucumbu tubuh indahmu” dan ditentang peredarannya oleh beberapa pihak.
Baca Juga: Natal dan Tahun Baru, Informa Electronic Grand Cimanggis Depok Promo Besar
Sebelum kedatangan agama Islam, masyarakat Bugis di wilayah Sulawesi Selatan mengakui adanya 5 gender; laki-laki (oroane), Perempuan (makkunrai), laki-laki menyerupai perempuan (calabai, perempuan menyerupai laki-laki (calalai) dan pendeta androgini (bissu). Di wilayah Toraja, mereka mengakui adanya gender ketiga yaitu to burake tembolang. Dalam budaya Toraja, pemimpin agama yang penting adalah seorang wanita (burake tattitu) dan pria yang berpakaian seperti Wanita, atau burake tambolang. Di Papua, ada beberapa suku yang memiliki tradisi untuk melakukan sodomi pada anak laki-laki yang beranjak dewasa, dilakukan oleh pria dewasa yang bukan ayahnya.
Tradisi ini dilakukan untuk memberi sifat laki-laki kepada anak yang dari kecil selalu menerima cairan dari ibunya (ASI). Di Bali, terdapat seni tari Arja Muani, semua pemeran adalah laki-laki. Karakter penari Perempuan ditarikan oleh laki-laki.
Berdasarkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (DSM 5) dan International Classification of Diseases (ICD 10 CM), homoseksual bukanlah gangguan jiwa. Meskipun demikian, dalam ICD 10 masih tercantum F.64.9 Gender Identity Disorder yang digunakan untuk; gender dysphoria, unspec; gender oncronquence, unspec; gender-role disorder. Sementara menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PSDKJI), homoseksualitas termasuk Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Hal ini dimaksudkan, homoseksualitas atau LGBTQ+ memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan jiwa, sehingga disarankan untuk mencari atau mendapatkan pertolongan untuk masalah ini.
Kejadian homoseksualitas ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain; susunan kromosom, ketidakseimbangan hormon, struktur otak, psikodinamik, dan lingkungan. Dari perspektif psikoanalisis, ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi terbentuknya identitas seksual seseorang, seperti faktor biologis, lingkungan, pergaulan, tontonan, budaya, dan lain-lain. Salah satu faktor yang dianggap penting adalah fase phallic, yang terjadi pada usia 3 sampai 5 tahun. Pada fase ini, anak mulai menyadari perbedaan jenis kelamin dan mengalami kompleks Oedipus atau Elektra, yaitu ketertarikan seksual terhadap orang tua lawan jenis dan permusuhan terhadap orang tua sejenis. Jika fase ini tidak terselesaikan dengan baik, maka anak bisa mengalami konflik identitas seksual dan cenderung menjadi LGBTQ+.
Apa dampak dari kehidupan LGBTQ+ ini terhadap masyarakat? Secara garis besar, dampak yang muncul dapat kita bagi menjadi dampak kesehatan dan dampak sosial. Dampak Kesehatan yang timbul, antara lain; peningkatan kasus infeksi menular seksual termasuk HIV, peningkatan risiko gangguan kesehatan mental, dan pemakaian obat-obatan terlarang. Dampak sosial yang dapat muncul, antara lain; peningkatan perilaku seks bebas karena kelompok homoseksual memiliki lebih banyak pasangan seksual dibandingkan dengan heteroseksual, gangguan keamanan karena perilaku perundungan seksual terhadap anak-anak. Adanya peningkatan risiko gangguan kesehatan mental perlu menjadi perhatian khusus dari pakar dan pihak yang berwenang. Populasi ini diperkirakan akan mengalami gangguan kesehatan mental yang lebih buruk, karena dibandingkan dengan golongan heteroseksual dan cis-gendered, hal ini harus menjadi perhatian bagi penyedia pelayanan kesehatan. Tantangan Kesehatan mental bagi kelompok LGBTQ+ antara lain; distress emosi, stigmatisasi, viktimisasi, diskriminasi dan keterbatasan untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Adanya legalisasi keberadaan kelompok LGBTQ+ ini tidak berarti tantangan Kesehatan mental tersebut akan hilang.
Baca Juga: Panwascam Tapos Depok Tindak Berbagai Pelanggaran Pemilu, Ini Dia
Penyedia pelayanan kesehatan harus mampu mengatasi kondisi ini, dapat bertindak sebagai advokator. Selain itu didapatkan juga adanya peningkatan perubahan perilaku, adanya ide bunuh diri, konsumsi alkohol, rokok dan pemakaian mariyuana atau zat lainnya.