Malang melintang berjalannya waktu, pada tahun 1992 Tajudin Tabri kemudian melepas status lajangnya, dengan menikahi seorang gadis Betawi. Tak mewah. Hanya dengan mahar senilai Rp400 ribu.
“Tahun 1992 itu saya memutuskan untuk menikah dengan gadis Betawi, maharnya pun hanya Rp400 ribu,” beber Tajudin Tabri.
Sebagai kepala keluarga. Tentunya Tajudin Tabri harus menafkahi sang istri. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, berbagai usaha pun ia lakoni. Ia memulainya dari pegawai honorer di Kelurahan Krukut, pengusaha perumahan, hingga sopir angkot.
Semasa dirinya berprofesi sebagai sopir angkot, Tajudin Tabri mencari penumpang dengan rute Lebak Bulus-Sawangan. Dengan jam kerja yang bergantian, ia tetap menahkodai angkot kesayangannya kala itu semata untuk butiran nasi.
"Saat saya menjadi sopir angkot, saya mulai narik itu dari subuh, terus jam 9 pagi pulang, diterusin sama sopir angkot yang lain sampai jam 5 sore. Terus saya narik lagi sampai jam 9 malam. Pokoknya semasa itu hidup saya pahit,” beber Tajudin Tabri.***