TENTU kita harus memberikan apresiasi kepada DKPP RI yang telah memutuskan untuk memberhentikan Hasyim Asy'ari baik dari jabatanya sebagai ketua KPU RI maupun sebagai anggota KPU RI, walaupun keputusan ini dinilai sangat terlambat.
Terlambat dalam pemberhentiannya. Seharusnya DKPP memberikan sanksi pemberhentian ketika kasus yang sama sebelumnya. Dimana Hasyim terbukti bersalah telah melakukan perbuatan asusila dan gratifikasi kepada "wanita emas".
DKPP hanya memberikan vonis peringatan keras terakhir. Seharusnya langsung diberhentikan, karena kasus etik itu bukan akumulatif. Kemudian sangat terlambat keputusan DKPP dalam kasus terakhir ini.
Kasus asusila terhadap salah seorang anggota PPLN untuk wilayah eropa ini terjadi pada tahapan Pemilu 2024, namun diputus setelah adanya kepastian keterpilihan anggota legislatif dan pasangan presiden dan wakil presiden, sehingga disini terlihat putusan DKPP juga sangat mengandung politis.
Baca Juga: Mau Nonton yang Mana? Ini 6 Daftar Film Horor Indonesia Juli 2024 yang Akan Tayang di Bioskop
Lantas, bagaimana dalam prespektif Pilkada serentak 2024 dan bagaimana pengaruhnya ?
Dalam pelaksanaannya, Pilkada 2024 serentak posisi KPU RI tidak mempunyai peran signifikan. Peran KPU RI hanya pada ranah regulasi dalam hal ini Peraturan KPU dan berbagai variabel turunanya.
Sisanya merupakan peran dari KPU Propinsi dan Kabupaten/Kota. Begitupun dengan penglolaan anggaran. Sumber anggaran Pilkada 2024 bersumber dari APBD provinsi dan kabupaten/kota masing-masing, tidak melibatkan anggaran APBN terkecuali kegiatan yang dilakukan oleh KPU RI yang berkaitan dengan pilkada seperti monitoring, visitasi dan tugas-tugas delegatif.
Sehingga, urusan Pilkada 2024 murni merupakan kerjanya KPU provinsi dan kabupaten/kota. Dalam konteks pelaksanaan pemberhentian Ketua KPU RI sama sekali tidak terpengaruh terhadap proses pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
Andaipun akan dikaitkan pemberhentian ketua KPU RI dengan pilkada lebih pada ranah non teknis dampaknya. Pertama, Trust Publik. Tentu saja perilaku ketua KPU RI ini mencoreng nama besar penyelenggara pemilu, terlebih yang dinyatakan bersalah merupakan simbol utama penyelenggara pemilu yaitu ketua KPU RI.
Selain kasusnya tidak hanya sekali ini, minimal dua kali mendapatkan vonis bersalah. Tentu saja kondisi ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu.
Kedua, menjadi pemantik. Masyarakat akan terinapirasi dengan kejadian ini, sehingga akan memunculkan keberanian publik atau peserta Pilkada untuk mengadukan kasus etik jika dalam pelaksanaan pilkada ditemukan pelanggaran etika penyelenggara pemilu.
Ketiga, warning bagi penyelenggara pemilu pada Pilkada 2024, terlebih jika kasus ketua KPU RI ini dibawa ke danah pidana dengan alat bukti putusan DKPP RI. Karena kasus asusila yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam pemilu dan pemilihan merupakan pelanggaran etik.
Artikel Terkait
Waspada Bawa Penyakit, Kesehatan Jemaah Haji Depok Dipantau
Elly Farida Ikut Jajal Biskita Trans Depok : Ramah Disabilitas dan Lansia
Astaga! Judi Online jadi Sumber Perceraian di Depok
Waspada! Gen Z PKB Kota Depok Griliya Untuk Supian Suri
Cipayung Jaya Depok Bentuk 73 UMKM
SMPN 3 Depok Sempat Tolak Atlet Berprestasi di PPDB, Kok Bisa?
JNE Sabet Indonesia Digital Popular Brand Award 2024