Ia menyebut, asas otonomi daerah tertuang dalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 sebagai ketentuan konstitusional. Bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Dalam asas otonomi daerah, Pilkada disebut merupakan wujud dari kebijakan desentralisasi politik.
“Jadi daerah punya otonomi memilih sendiri siapa kepala daerahnya. Dalam desain kebijakan desentralisasi kita, otonomi daerah itu ada pada pemerintahan kabupaten/kota. Provinsi melakukan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat,” lanjut Irawan.
Menurut dia, prinsip dan praktik konstitusional itu dapat dimaknai bahwa pilkada bisa dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung (direct/indirect democracy).
Baca Juga: MK Tangani 275 Sengketa Pilkada 2024, Komisi II DPR Ingatkan Pentingnya Keadilan dan Integritas
“Maka dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada atau tidak langsung melalui DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, itu sama demokratisnya dan juga masih sesuai dengan prinsip konstitusionalisme,” jelasnya.
“Karena anggota DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota, anggota-anggotanya juga dipilih melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945,” sambung Irawan.
Ia meyakini perpindahan pemilihan kepala daerah, khususnya gubernur, menjadi dipilih oleh DPRD dapat mengefisiensikan anggaran pelaksanaan Pilkada. Sebab, bongkar pasang kebijakan pelaksanaan Pilkada di Indonesia selama ini tidak berjalan efisien.
Baca Juga: 1.194.190 Kendaraan Depok Kena Opsen Pajak pada 5 Januari 2025, Untungkan Pemkot?
“Terkait dengan prinsip efisiensi, hal tersebut merupakan asas/prinsip yang kita jadikan dasar dalam merumuskan kebijakan/teknis penyelenggaraan pemilu. Efisiensi tergantung dari kebijakan politik hukum kita yang diatur dengan undang-undang,” ujarnya.
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mendukung gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi sistem pilkada. Usulan tersebut dinilai dapat mencegah politik uang dan menyederhanakan proses demokrasi.
“Gagasan penyederhanaan sistem yang disampaikan Presiden Prabowo perlu diapresiasi dan direspon secara baik. Pertimbangannya sangat empiris dan realistis, terutama untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah dampak buruk yang terjadi dalam sistem politik saat ini,” ujar Niam di Jakarta, Sabtu (14/12).
Baca Juga: Pemulihan Pasca Bencana Alam Terus Dilakukan, Mensos Salurkan Bantuan Hampir Rp 1 Miliar
Asrorun Niam juga menjelaskan bahwa MUI telah menyampaikan usulan serupa dalam hasil Ijtima Ulama se-Indonesia. Dalam keputusan tersebut, dijelaskan bahwa sistem pilkada langsung saat ini memiliki banyak potensi mafsadat (kerugian).
Pertama disharmoni dalam hirarki kepemimpinan nasional. Kedua tingginya biaya demokrasi yang memperlambat prioritas pembangunan. Ketiga, Konflik horizontal yang melibatkan unsur SARA.
Keempat, Kerusakan moral masyarakat akibat maraknya politik uang. Menurut Niam, berdasarkan prinsip mencegah kemafsadatan, pilkada sebaiknya dilakukan melalui sistem perwakilan yang tetap menjaga prinsip demokrasi. “Sistem perwakilan lebih maslahat dan sejalan dengan prinsip syariah,” katanya.
Artikel Terkait
3 Januari, MK Mulai Sidang Sengketa Pilkada 2024
Kuasa Hukum Imam-Ririn Cabut Gugatan Pilkada Depok di Mahkamah Konstitusi, Ucapkan Selamat Kepada Supian Suri-Chandra Rahmansyah
Pemkab Sukabumi Perpanjang Status Tanggap Darurat, Fokus Logistik, Relokasi hingga Infrastruktur
Waspada! Cuaca Ekstrem Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi Sampai 15 Desember
Pemerintahan Bakal Pindah ke IKN pada 2028, Ini Alasannya
Angkutan Barang Dibatasi saat Nataru, Pemerintah Terbitkan SKB untuk Atur Lalu Lintas, Ini Rinciannya!
Beberapa Akses Jalan di Sukabumi Masih Putus